Rabu, 24 November 2010

“PERKEMBANGAN BEHAVIORAL ACCOUNTING”

Background

Akuntansi yang kita kenal selama ini telah mengalami metamorfose yang panjang, dengan seperangkat dan tahapan rekonstruksi sebagai sebuah social science yang legitimate dengan kemampuannya memberi kemanfataan bagi praksis business di dunia. Paling tidak melibatkan tiga riset besar, sehingga akuntansi dapat mendudukkan dirinya berdampingan praksis business seperti sekarang ini. Mekipun tidak ada catatan yang dapat digunakan untuk menunjukkan secara langsung kapan akuntansi mulai dipraktikkan, bisa diperkirakan bahwa akuntansi telah digunakan sejak zaman sebelum masehi (SM). Berbarengan dengan berkembangnya peradaban manusia, pencatatan, pengiktisaran, dan pelaporan (propses akuntansi) telah menjadi bagian proses akuntansi yang melembaga.
Beberapa bukti empiris, dapat dijadikan rujukan dan runutan sejarah tentang perkembangan akuntansi (asal-muasal), seperti sejarah bangsa Aztec dan Inca di pedalaman Amerika, bangsa Dravida di Dataran Asia Selaytan, bangsa Cina dan Jepang dikawasan Asia Timur, bangsa Sumeria, Mesir Kuno, dan mesopotamia didataran Arab, bangsa Yunani dan Romawi di benua Eropa, merupakan yang telah maju kuno yang telah mempraktikkan kristalisasi akuntansi dengan berbagai variasi kesederhanaanya (Ikhsan & Ishak, 2005). Sejumlah bukti empiris yang berbentuk manuskrip-manuskrip yang ditemukan di goa-goa prasejarah telah tersebut menunjukkan bahwa manusia di zaman itu telah mengenal adanya hitung menghitung meski dengan bentuk variasi kesederhanaanya.
Keberadaan akuntansi yang kita kita kenal selama ini, oleh banyak kalangan lebih didudukkan sebagai satu metode pencatatan yang akan menghasilkan media pertanggungjawaban yang selanjutnya disebut laporan keuangan. Melihat posisi tersebut, maka lambat laun akuntansi benar-benar akan terjadi reduksi nilai dan hanya berupa hamparan angka-angka yang memaparkan kekayaan dan kinerja perushaan. Wajar, manakala banyak kalangan memberi kritik bahwa akuntansi bukan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang dapat memberikan banyak manfaat. Bahkan dampak dari interpretasi yang mendudukkan akuntansi seperti tersebut diatas, akuntansi hanya sebagai alat legitimasi sistem ekonomi dimana akuntansi diberlakukan. Jika hanya sebatas itu, maka peran dan fungsi akuntansi menjadi dis-legitimasi manakala sistem ekonomi yang ditopangnya mengalami illigitimasi, dan bahkan the dead of accounting akan muncul, karena peran dan fungsi akuntansi akan diganti oleh perkembangan tehnologi informasi seperti komputerisasi.
Kenyataan ternyata menunjukkan kondisi yang tidak membenarkan proyeksi banyak kalangan. Ilmuan dibidang akuntansi, telah memberikan bukti lewat perkembangan ilmu akuntansi yang bersifat terbuka (open ended) dalam bentuk keterbukaan dalam berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain, seperti masukanya teori-teori sosial dan eksak dalam perkembangan akuntansi.
Akuntansi yang merupakan satu sistem dan prosedur yang menghasilkan laporan keuangan dimaksudkan untuk membantu para pemakai pengambilan keputusan, ternyata mengandung seperangkat essensi behavioral dan syarat dengan muatan integrasi dengan berbagai ilmu (teori) sosial lainnya. Tujuan tersebut tak lain adalah memberi petunjuk dan mempengaruhi para pengguna dalam memilih tindakan yang paling baik untuk mengalihasikan sumberdaya yang langka pada aktivitas bisnis (Ikhsan & Ishak, 2005). Perlu diketahui bahwa dalam penetapan keputusan (decission making) sudah barang pasti akan melibatkan jugdment yang potret keseluruhannya akan mengaktifkan aspek-aspek keperilakuan dari para pengambil keputusan maupun pembuat laporan akuntansi. Dengan kata lain, akuntansi tidak akan dapat dilepas keperilakukan manusia dan tidak bersifat statis melainkan akan berkembang sejalan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Jika hal seperti adanya, pertanyaan yang muncul adalah apa dan bagaimana tipologi akuntasi keperlakuan, bagaimana adopsi sistemik teori-teori sosial lain masuk kedalam akuntansi dan sejauhmana nilai aksiologis dari akuntansi keperilakukan dalam membantu praksis bisnis.

Variabilitas Landasan Epistimologi dalam Riset Dibidang Akuntansi
Penelitian ilmiah merupakan satu motor inti dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara, diskusi tentang ilmu pengetahuan tak dapat dilepaskan dengan posisi teori yang merupakan reduksi fenomena lapangan yang universal. Sehingga, posisi teori akan memudahkan dalam memahami dan memprediksi fenomena. Dengan demikian, dalam teori yang merupakan produk ilmu pengetahuan mengakui eksistensi (atau dibangun) atas dasar asumsi-asumsi yang merupakan upaya meniadakan sekian kondisi yang melingkupi gejala alam. Melihat konteks seperti, dimana teori merupakan satu produk keilmuan, berarti suatu pengetahuan (knowledge) dibangun atas dasar asumsi-asumsi filosofis tertentu yang mendasarinya.
Menurut Burrel dan Morgan (1979), asumsi-asumsi yang mendasari atas terbangunya suatu pengetahuan (knnowledge) adalah ontologi (ontology), epistimologi (epistimology), hakikat manusia dan metodologi (methodology). Ontologi, merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat atau sifat dari realitas atau objek yang diinvestigasi. Epistimologi, merupakan cabang filsafat yang memberi perhatian terhadap bagaimana mendapatkan serta menyebarkan ilmu pengetahuan.
Berangkat dari kerangka dasar ontologi dan epistimologi, akhirnya menghasilkan variabilitas cara pandang ilmuan dalam memperoleh kebenaran suatu ilmu pengetahuan. Dampak yang terjadi adalah munculnya berbagai paradigma riset dengan berbagai konsekwensi pertentang dan klaim antara pembenaran dan penyalahan.
Kaum Subyektifime (anti-positivism), memberikan penekanan bahwa pengetahuan bersifat sangat subyektif dan spiritual (transedental), yang didasarkan pada pengetahuan dan pandangan manusia. Hal itu sejalan dengan cara pandang pendekatan ideograpik, yang berpandangan bahwa seseorang akan dapat memahami ”dunia sosial” (social world) dan fenomena yang diinvestigasi, apabila ia dapat memperolehnya atas dasar ”pengetahuan pihak pertama” (first hand knowledge). Bebeda dengan kaum Objektivisme (positivism) yang berpandangan bahwa pengetahuan itu berada dalam bentuk yang tidak berujud (intangible), terukur dan teramati. Secara ontologis, kaum objektivism memandang bahwa relaitas merupakan sumber pengetahuan yang terlepas pada diri manusia (Burrel & Morgan, 1979). Pandangan posivisim tersebut nampaknya sejalan dengan pendekatan nomotetik yang memiliki metode yang baku dan protokoler.
Kaum Voluntarisme (voluntarism) memberikan penekanan pada essensi bahwa keberadaan manusia didunia ini adalah untuk memecahkan fenomena sosial sebagaimana mahluk yang memiliki kehendak dan pilihan bebas (free will and choice). Manusia menurut kaum voluntaris dipandang sebagai pencipta dan mempunyai perspektif untuk menciptakan fenomena sosial dengan daya kreatifitasnya (Sukoharsono dalam Ishak dan Ikhsan, 2005). Hal itu berbeda dengan sudut pandang kaum determinisme yang memandang bahwa manusia dan aktivitasnya ditentukan oleh situasi atau lingkungan dimana mereka berada. Kaum determinis menggap bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan mengubah social world melainkan manusia memiliki kepekaan dan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana mereka berada.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Burrel dan Morgan (1979) memetakan pentehuan dalam tiga paradigma, yaitu fungsionalis-interpretif (functionalist-interpretive), radikal-humanis (radical humanist), dan raduikal strukturalis (radical structuralist).
Paradigma Fungsaionalis, sering disebut sebagai fungsionalis struktural (ctructural functionalist) atau kontinjensi rasional (rational contingency). Pradigma ini merupakan paradigma yang umum dan dominan digunakan dalam penelitian akuntansi atau paradigma utama (mainstream paradigm). Fungsionalis menganggap bahwa realitas adalah objectif berada diluar secara bebas dan terposah diliuar manusia. Realitas diukur dan dianalisis serta digambarkan secara objektif. Dengan demikian, penelitian yang menggunakan paradigma ini terjadi pemisahan secara jelas antara subjek dan objek penelitian. Berangkat cara pandang seperti itu, ilmu pengetahuan akuntansi mendudukkan metode ilmiah (scisntific methode) sebagai media pengembangan dan penemuan ilmu pengetahuan (teori). Metode penelitian kuantitatif merupakan perwujudan operasional yang cocok dengan cara pandangan paradigma fungsionalis.
Paradigma interpretif atau disebutnya juga dengan interacsionis subjektif (subjective interactionist) (Macintosh, 1994). Chua (1986) menyatakan bahwa paradigma ini berakar dari filusuf Jerman yang menitik beratkan pada peran bahasa, interpretasi, dan pemahaman dalam ilmu sosial. Burrel & Morgan (1976) berpendapat bahwa paradigma interpretif menggunakan cara pandang para nominalis yang melihgat realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan label, nama, atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas, dan bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanyalah penamaan atas sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau merupakan produk manusia itu sendiri. Dengan demikian, realitas sosial merupakan sesuatu yang berada pada dalam diri manusia, sehingga bersifat subjektif bukan objektif. Pada paradigma interpretif, ilmu pengathuan tidak digunakan untuk menjelaskan (to explain) melainkan untuk memahami (to understand) (Triyuwono dalam Ihsan & Ishak, 2005). Desain penelitian kualitatif merupakan bentuk metode yang cocok dengan paradigma ini. Paradigma interpretif memasukkan aliran etnometodologi dan interaksionis simbolis fenomenologi yang didasarkan pada aliran sosiologis, hermenetik, dan fenomenologis.
Paradigma strukturalisme radikal, merupakan salah satu paradigma penelitian akuntansi yang memiliki kemiripan dengan paradigma fungsionalis. Paradigma ini beranggapan bahwa sistem sosial mempunyai keberadaan ontologis yang konkret dan nyata (Machinton dalam Ihsan & Ishak, 2005). Fokus dalam paradigma ini adalah bahwa terdapat konflik mendasar pada hubungan kelas atau kelompok dan struktur pengendalian. Disamping itu, memperlakukan dunia sosial sebagai objek eksternal dan memiliki hubungan terpisah dari manusia tertentu. Umumnya riset dalam demargasi paradigma ini didasarkan pada teori Marxisme tradisional.

Paradigma humanis radikal, diwarnai oleh teori kritis dari Frankfurt School dan Habermas (Dillard dan Becker dalam Ihsan dan Ishak, 2005). Pandangan Habermas menytakan bahwa objek studi sebagai suatu interaksi sosial yang disebut ’du8nia kehidupan” (life world), yang diartikan sebagai interaksi berdasarkan pada kepentingan kebutuhan yang melekat dalam diri manusia dan membantu untuk pencapaian saling memahami (Sawarjuwono, 2002). Macintosh menyatakan bahwa humanis radikal memiliki visi praktik akuntansi yang berorentasi pada orang yang mengutamakan idealisme humanistik dan nilai-nilai dibandingkan dengan tujuan organisasi.

Kilas Balik Behavior Accounting.
Pendekatan klasik, akuntansi lebih menitik beratkan pada pola pikir normatif dan telah menguasai pemikiran akuntansi dalam satu dekade dan mengalami kejayaan pada tahun 1960-an. Baru sejak decade 1970-an akuntansi mengalami pergeseran paradigma dan pemikiran dengan munculnya berbagai riset akuntansi keperilakukan.
Satu keniscayaan yang melatarbelakangi pergeseran paradigma tersebut adalah bahwa akuntansi normatrif yang mampu bertahan dan mengalami kejayaan ternyata tidak cukup mujarab dalam menghadapi problematika praksis. Desain sistem akuntansi normatif yang dihasilkan dari riset akuntansi ternyata tidak dapat digunakan dalam praktik sehari-hari. Konsekwensinya, munculnya pemikiran baru dalam bentuk tawaran pemahaman akuntansi deskriptif dalam praktik nyata. Alasan kedua munculnya pemikiran pemahaman riset akuntansi empiris yang memasukkan keperilakukan dan ekonomi dan politik. Alasan ketiga, semain terbukannya pola pikir ilmuan dibidang akuntansi, serta kesadaran open ended terjhadap ilmu sosial lain. Ladsan metodologis (epistimologis) tentang cara pandang memperoleh kebenaran dan pengembangan ilmu pengetahauan sebagaimana tersebut diatas juga meberi kontribusi besar terhadap pergeseran paradigma akuntansi kearah eksistensi akuntansi keperilakukan.
Perkembangan instrumen keuangan terutama di pasar modal terutama munculnya efficient market hypothesis dan agency theory, telah menciptakan wajah baru dalam perkembangan ilmu akuntansi lewat perkembangan riset akuntansi. Beberapa pemikiran akuntansi dari Rochester dan Chicago mengembangkan apa yang disebut teori akuntansi positif (positive accounting theory) yang menjelaskan mengapa akuntansi itu ada, apa itu akuntansi, mengapa akuntansi melakukan apa yang mereka lakukan, dan apa pengaruh dari fenomena itu terhadap manusia dan pengguna sumber daya (Ghazali & Chariri, 2001).
Untuk menjawab berbagai persoalan tersebut, serta untuk meningkatkan cakupan luas pertkembangan akuntansi, ilmuan akuntansi banyak mengembangkan ilmu akuntansi dengan memasukkan dimensi keperilakukan dalam desain sistem akuntansi. Riset akuntansi keperilakuan dapat dikatakan sebagai bidang baru yang merupakan perkembangan akuntansi dalam bentuk upaya sistemik melibatkan keperilakukan individu, kelompok, organisasi bisnis, organisasi non bisnis dan teknologi informasi.
Akuntansi keperilakukan merupakan bagian dari ilmu akuntansi nyang perkembangannya semakin meningkat dalam 25 tahun belakangan ini. Hal itu, ditandai dengan lahirnya sejumlah jurnal dan artikel yang berkenaan dengan keperoilakukan seperti Behaviour Research in Accounting.
Riset keperilakukan dapat ditelusuri sejak tahun 1960-an atau lebih awal yaitu sejak doble entry ditemukan oleh Lucas Pacioli (1949). Karya monumental yang lebih riil riset tentang akuntansi keperilakukan adalah Controllership Foundation of American (1951) yang menyelidiki dampak anggaran terhadap manusia dan studi Hofsted & Kinerd (1970), yang mengankat topik perilaku akuntan dan nonakuntan oleh fungsi akuntansi dan non akuntansi.
Hadayati (2002) menjelaskan bahwa sebagai bagian dari ilmu keperilakukan (behavioral science), teori-teori keperilakukan dikembangkan dari riset empiris atas perilaku manusia dalam organisasi. Dengan demikian perkembangan dan pergeseran akuntansi keperilakukan tak perlu diragukan lagi, mengingat produk akuntansi dan proses akuntansi sendiri melibat individu, kelompok, masyarakat dan negara (stakeholders), sehingga perkembangannya harus melibatkan keperikakukan lingkungan yang mengitarinya.
Paling tidak, riset akutansi keperilakukan meliputi demargasi, antara lain: (1) pembuatan keputusan dan pertimbangan oleh akuntan dan auditor; (3) pengaruh dan fungsi akuntanmsi seperti partisipasi dan penyusunan anggran, karakteristik sistem informasi, dan dan fungsi audit terhadap perilaku baik karyawan, manajer, investor, maupun wajib pajak; (3) pengaruh hasil dari fungsi tersebut, seperti informasi akuntansi fdan penggunaan pertimbangan dalam pembuatan keputiusan (Ikhsan dan Ishak, 2005); dan (4) perkembangan social responbility perusahaan terhadap stakeholders.

Minggu, 07 November 2010

TINJAUAN TEORITIS AKUNTANSI SOSIAL (SOCIAL ACCOUNTING) DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA:

Abstraksi


Ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting) adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan. Akuntansi sosial mengisyaratkan bahwa suatu entitas bisnis tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan sosial dimana entitas tersebut berada, sehingga interaksi antara keduanya perlu diakomodasi dalam teknik dan metode akuntansi. Makalah ini membahas secara teoritis tentang akuntansi sosial dan penerapannya di Indonesia dengan satu kesimpulan bahwa penerapan akuntansi sosial di Indonesia masih sangat rendah dan peran akuntansi sosial menjadi relevan sebagai solusi bagi permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahan di Indoensia.
Keywords : Tanggung jawab perusahaan, Akuntansi sosial, Permasalahan sosial

1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yang mengalami perubahan dari pandangan manajemen klasik ke manajemen moderen khususnya di beberapa negara industri seperti Amerika dan Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab perusahaan. Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba maksimum telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi perusahaan dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum, karena menurut pandangan Manajemen modern perusahaan dalam menjalankan operasionalnya harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988) dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan infromasi kepada beberapa kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan.
Sejak dekade tahun 70-an, masalah externality ini terus menjadi issu penting dikalangan profesi akuntan. Beberapa penulis seperti Estes (1973); Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol AB (1984); Henderson (1984) dan Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan beberapa contoh kongkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu dikalangan para akuntan sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut.
Harahap (1988;1993; 2001) mengemukakan bahwa persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggungjawab sosial atau tidak, sampai saat ini masih terus merupakan perdebatan ilmiah dalam sistem ekonomi kapitalis. Lebih jauh Harahap (2002) menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan bentuk dari penyadaran kapitalis terhadap tanggung jawab sosial perusahaan melalui penyajian informasi akuntansi. Pro dan kontra tersebut tentunya dapat dipahami karena kelompok yang mendukung maupun yang tidak mendukung punya kepentingan dan argumentasinya masing-masing.
Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi sosial memang bukanlah hal yang baru, para pakar akuntansi di Indonesia juga telah melakukan analisis dan studi tentang kemungkinan penerapan akuntansi sosial di Indonesia (Harahap, 1988); lihat juga Bambang Sudibyo (1988); Hadibroto (1988) dalam Arief Suadi (1988), hanya saja akuntansi sosial menjadi kurang populer karena kemungkinan perusahaan-perusahaan di Indonesia memanfaatkan laporan tahunan hanya sebagai laporan kepada Shareholders dan Debtholders atau sebagai informasi bagi calon investor (Muslim Utomo,2000).
Sebuah analisis yang dilakukan oleh Bambang Sudibyo (1988) dalam Arief Suadi (1988) menyimpulkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi kendala sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia, yaitu (1) lemahnya tekanan sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan, dan (2) rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung jawaban sosial. Sementara itu artikel yang ditulis oleh Harahap (1988) merekomendasikan perlunya dikembangkan konsep Sosio Economic Accounting (SEA) di Indonesia karena lebih dekat dengan falsafah bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Penulis, perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat saat ini telah mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis kembali penerapan akuntansi sosial dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini.

2. PERMASALAHAN
Berangkat dari berkembangnya tuntutan dan kesadaran tanggungjawab sosial perusahaan, pro dan kontra terhadap konsep akuntansi sosial, dan pengembangan akuntansi sosial di Indonesia, makalah ini akan membahas secara teoritis tentang akuntansi sosial dan penerapannya di Indonesia. Pembahasan akan dilakukan dengan menguraikan fenomena permasalahan sosial yang terjadi pada entitas bisnis di Indonesia untuk menjawab permasalahan: “ Bagaimanakah penerapan akuntansi sosial di Indonesia dalam mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan pada kondisi bisnis sekarang ini “.

download tugas kuliah akuntansi sosial via ziddu

2. TELAAH LITERATUR
2.1. Definisi akuntansi sosial
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan istilah Social Accounting dan mendefinisikannya sebagai proses pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988) menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993) membuat suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan dengan lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar akuntansi di Indonesia menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai suatu pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur pelaporan dan komunikasi informasi kepada pihak–pihak yang berkepentingan. Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan gambaran tentang hubungan mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan informasi yang dihasilkan, sehingga secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh para pakar akuntansi mengenai akuntansi sosial memiliki karakteristik yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988), yaitu Akuntansi sosial berkaitan erat dengan masalah : (1) Penilaian dampak sosial dari kegiatan entitas bisnis, (2) mengukur kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab sosial perusahaan, dan (4) sistem informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap sumber-sumber daya perusahaan dan dampaknya secara sosial ekonomi.

2.2. Tujuan akuntansi sosial
Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994) adalah untuk memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) juga menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : (1) mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda, (2) membantu menentukan apakah strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi individu pada pihak lain, (3) memberikan dengan cara yang optimal, kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan, program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial perusahaan.
Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi masalah–masalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga pos–pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan. 

2.3. Pengukuran akuntansi sosial
Dalam pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan lingkungan sosialnya terdapat dua dampak yang timbul yaitu dampak positif atau yang disebut juga dengan manfaat social (Social benefit) dan dampaknegatif yang disebut dengan pengorbanan sosial (Social Cost). Masalah yang timbul adalah bagaimana mengukur kedua dampak tersebut. Menurut Harahap (1993), masalah pengukuran akuntansi sosial memang rumit, karena jika dibandingkan dengan transaksi biasa yang langsung dapat dicatat dan mempengaruhi posisi keuangan, maka dalam akuntansi sosial terlebih dahulu harus diukur dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan.
Lebih jauh Harahap (1993) menguraikan beberapa metode yang biasa dipakai dalam pengukuran Akuntansi sosial yaitu;
1. Menggunakan penilaian dengan menghitung Opportunity cost approach
2. Menggunakan daftar kuesioner
3. Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk barang perorangan dalam menghitung kerugian masyarakat
4. Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga
Ansry Zulfikar (1987) dalam Achmad Sonhadji (1989) memberikan beberapa teknik pengukuran yang dapat diapakai, antara lain ;
1. Penilaian pengganti, yaitu jika nilai dari sesuatu tidak dapat langsung ditentukan, maka dapat mengetimasikannya dengan nilai pengganti.
2. Teknik survey, yaitu mencakup cara-cara untuk mendapatkan informasi dari kelompok masyarakat tentang pengukuran aktifitas sosial perusahaan.
3. Biaya perbaikan dan pencegahan, yaitu biaya-biaya perbaikan yang dikeluarkan oleh perusahaan sebuhubungan dengan lingkungan sosialnya.
4. Penilaian dari penilai independen, yaitu memberikan suatu wewnang kepada pihak luar untuk mengukur aktifitas sosial perusahaan
5. Putusan pengadilan, yaitu dengan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum
Secara empiris beberapa perusahaan di Amerika seperti IBM, Chase Manhattan corporation, Bank of Minneapolis telah memaparkan informasi social secara kuantitatif dalam laporan keuangannya, yang menunjukkan pengukuran ataas praktik pengukuran dampak social perusahaan mereka (Achmad Sonhadji, 1989)

2.3. Pelaporan, pengungkapan (disclosure) akuntansi sosial
Menurut Belkoui (1985) yang dikutip oleh Harahap (1993), pelaporan dalam akuntansi sosial, berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaporan ini menurut Belkoui (1980) dalam Sawardjono (1991) didasari relevan atau tidaknya informasi tersebut, dan relevansi ini tergantung pada para pemakai informasi. Menurut Sawardjono (1991), peningkatan kebutuhan informasi ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang telah melaporkan tanggungjawab sosialnya. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Inggeris, Australia dan Jepang, pelaporan ini sudah merupakan hal yang lazim. Estes (1976) dalam Achmad Sondhaji (1989) menggambarkan Praktik pelaporan akuntansi sosial yang terdiri dari :
1. Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang tidak disertai dengan data kuantitaif, baik satuan uang maupun satuan yang lainnya
2. Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan disertai dengan data kuantitatif
3. Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga menyusun laporannya dalam bentuk neraca
Selanjutnya dengan semakin berkembangnya pasar modal, perusahaan-perusahaan melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk memberikan informasi kepada pemilik modal, calon investor dan pihak-pihak luar (stakeholders) lainnya yang juga berkepentingan. Praktik pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan tahunan perusahaan telah dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Singapura dan Malaysia. Keadaan ini turut mendorong perusahaan–perusahaan untuk mengungkapkan secara sukarela untuk setiap periode mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat menunjukkan kepada kepada pihak–pihak yang berkepentingan terhadap laporan tahunan perusahaan yang dapat menjelaskan kepedulian dan kepekaan sosial suatu entitas bisnis.
Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini FASB telah banyak merekomendasikan secara lebih spesifik tentang standar pelaporan externalities. Davidson (1993) memberikan contoh FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian dampak sosial khususnya mengenai dampak lingkungan. Davidson (1993) seorang direktur yang menangani urusan lingkungan di Ernst dan Young consulting Washington, mengatakan bahwa saat ini SEC (stock exchange commission) telah menerapkan review bagi perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan dampak lingkungan dalam laporan tahunan mereka.
Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika Serikat sampai saat ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure) dan bukan merupakan suatu kewajiban (Mandatory disclosure), tetapi kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan mengungkapkan aktifitas sosial tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah suatu perusahaan dalam menjalankan fungsi – fungsi sosialnya.
Penelitian–penelitian yang dilakukan diluar negeri menunjukkan bahwa di Inggris Ince dan Davut (1997), Tsang dan Eric WK (1998) di Singapura, Hackson dan Milne (1996) di Selandia Baru, Adam et.al (1997) di enam negara Eropa (Prancis,Jerman,Swiss,Inggris,dan Belanda) dan penelitian Andrew et.al (1989) di Malaysia dan Singapura membuktikan pengungkapan sosial perusahaan sudah menjadi hal yang lazim dilaksanakan dengan penekanan bahwa perusahaan besar lebih banyak mengungkap informasi sosialnya dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Deegan dan Gordon (1991) dalam Heny dan Murtanto (2001) mengemukakan bahwa sebagian besar pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan masih bersifat kualitatif, dan kecenderungan perusahaan mengeungkapkan informasi positif daripada informasi negatif.

3. TINJAUAN PENERAPAN AKUNTANSI SOSIAL DI INDONESIA
Untuk membahas permasalahan bagaimana penerapan akuntansi sosial di Indonesia, maka akan diuraikan terlebih dahulu tentang krisis ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan kaitannya dengan permasalahan sosial yang terjadi pada beberapa perusahaan. Kemudian akan di bahas peran akuntansi sosial dalam mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan pada kondisi bisnis sekarang ini, yang didasarkan pada uraian teoritis sebelumnya.

Krisis ekonomi di Indonesia
Krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan sejak tahun 1997 telah mendongkrak bangsa ini pada posisi krisis multi dimensi pada hampir seluruh aspek kehidupan. Khususnya jika dilihat secara lebih rinci pada aspek ekonomi, sendi–sendi perekonomian (Investasi,produksi dan distribusi) lumpuh sehingga menimbulkan kebangkrutan dunia usaha, meningkatnya jumlah korban PHK, tingginya angka pengangguran, menurunnya pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat, dan akhirnya bermuara pada bertambahnya angka-angka jumlah peduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Dengan tingginya suku bunga diatas enam puluh persen pada puncak krisis saat itu, sangat sulit bagi sektor perbankan untuk menggulirkan kredit, ditambah ketatnya aturan likuiditas disektor perbankan sebagai akibat dari akumulasi kredit macet grup Konglomerat dan anak perusahaan dari bank-bank bermasalah mendorong pemerintah melakukan likuidasi, restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan.
Menurut Rizal Ramli (1998), krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia mengakibatkan timbulnya berbagai hal yang tidak pasti, sehingga indikator–indikator ekonomi seperti tingkat suku bunga, laju inflasi, nilai tukar, indeks harga saham gabungan, dan sebagainya sangat rentan terhadap isu–isu sosial. Hal ini membuktikan bahwa aspek sosial dan aspek politik dapat mengundang sentimen pasar yang bemuara pada instabilitas ekonomi. Kondisi seperti ini tentunya berdampak sangat buruk bagi peta bisnis dan iklim investasi di Indonesia terutama untuk mendapatkan kepercayaan investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
Upaya-upaya pemerintah menyakinkan dunia Internasional akan stabilitas sosial politik dan keamanan belum menunjukkan tanda–tanda yang berarti karena tidak didukung oleh data dan fakta yang sebenarnya, bahkan beberapa Investor asing berencana melakukan relokasi bisnis dan investasinya ke negara Asia Tenggara lainnya seperti ke Vietnam,Thailand dan Kamboja yang dianggap lebih kondusif untuk berinvestasi seperti kasus pabrik sepatu di Tangerang, Banten dan Sidoardjo, Jawa Timur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi dan krisis sosial di Indonesia sampai saat ini masih menjadi dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, dan pengaruhnya terhadap dunia bisnis sangat signifikan, sehingga perusahaan yang ingin menjalankan operasional bisnisnya di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari permasalahan sosial yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Permasalahan sosial bagi perusahaan memang bukan menjadi target utama, karena banyak faktor–faktor lain seperti investasi, permodalan, produksi, pemasaran yang berkaitan langsung dengan aktifitas normal sebuah perusahaan, tetapi konsekuensi dari interaksi antara perusahaan dengan lingkungan yang sedang mengalami krisis sosial menjadi tidak dapat dihindari.

3.2. Permasalahan sosial dalam dunia bisnis di Indonesia
Tabel. 1 akan mengikhtisarkan beberapa contoh permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia.
TABEL . 1
CONTOH PERMASALAHAN SOSIAL PADA DUNIA BISNIS INDONESIA
No
Contoh kasus
Lokasi
Permasalahan Sosial
01.
PT.Inti Indo Rayon Utama
Porsea
Propinsi . Sumatera Utara
Dihentikan operasional karena adanya masalah lingkungan dan masalah dengan masyarakat sekitar industri
02.
PT. Exxon mobils
Lhokseumawe Aceh utara
Prop . DI Aceh
Menghentikan kegiatan produksi karena faktor stabilitas keamanan
03.
PT.Ajinamoto Indonesia
Jakarta
Penarikan distribusi, pemasaran, dan aktifitas produksi karena masalah sertifikasi halal oleh MUI
04.
Beberapa Perusahaan kertas di Riau
Propisi Riau
Mendapatkan protes dari masyarakat setempat sehubungan permasalahan limbah industri dan lingkungan
05.
PT.Maspion Indonesia
Sidoarjo
Surabaya
Jawa Timur
Permasalahan demo buruh dan isu kesejahteraan karyawan
06.
PT.Telkom Indonesia
Divre IV
Jateng dan DIY
Serikat Karyawan (Sekar) PT.Telkom menolak penjualan Divre IV Kepada PT.Indosat
07.
PT. BCA
Jakarta
Serikat Pekerja menolak Divestasi saham BCA
08.
PT.Kereta Api Indonesia
Jakarta
Serikat Pekerja menolak kembalinya Dewan Direksi lama, karena dianggap bertanggung jawab atas beberapa kasus kecelakaan kereta api yang terjadi di Indonesia
09.
Bank Internasional .Indonesia (BII)
Jakarta
Tuntutan Karyawan atas gaji, upah dan peningkatan kesejahteraan pekerja
10.
PT.Gudang Garam
Kediri
Jawa Timur
Mogok Kerja Massal karyawan menuntut perbaikan gaji dan kesejahteraan pekerja.
Sumber : Review berbagai sumber
Sederetan data lain sebenarnya masih banyak lagi mengenai permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan PMA maupun PMDN di Indonesia. Tentunya gambaran ini semakin menunjukkan betapa dunia usaha sangat rentan dengan berbagai masalah sosial. Beberapa kasus maraknya aksi demo buruh, penjarahan gudang, perusakan gedung kantor dan pabrik, dan penggarapan lahan perusahaan karena masyarakat menyakini tanah ulayat dan hak–hak rakyat yang dirampas oleh penguasa pada masa lalu, semakin menguatkan fakta tentang stabilitas sosial yang tidak kondusif. 

3.3. Peran Akuntansi Sosial
Situasi dan kondisi seperti yang telah diuraikan diatas menuntut suatu entitas bisnis untuk mampu mengakses kepentingan lingkungan sosialnya yang diikuti dengan pengungkapan dan pelaporan kepada pihak–pihak yang berkepentingan sehingga melahirkan sebuah laporan (output) yang mendeskripsikan segala aspek yang dapat mendukung kelangsungan hidup sebuah entitas. Disinilah peran akuntansi diharapkan dapat merespons lingkungan sosialnya sebagai perwujudan kepekaan dan kepedulian entitas bisnis terhadap lingkungan sosialnya.
Akuntansi sosial secara teoritis mensyaratkan perusahaan harus melihat lingkungan sosialnya antara lain masyarakat, konsumen, pekerja, pemerintah dan pihak lain yang dapat menjadi pendukung jalannya operasional karena pergeseran tanggungjawab perusahaan. Untuk mendapatkan gambaran inilah perusahaan harus mampu mengakses lingkungan sosialnya, setelah itu untuk menindak lanjuti dan mengukur kepekaan tersebut perusahaan memerlukan informasi secara periodikal, sehingga informasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi semua pihak (Shareholders, stakeholders, debtholders). Akuntansi sosial dilaksanakan atas dasar aktifitas sosial yang dijalankan oleh suatu entitas bisnis, selanjutnya diproses berdasarkan prinsip, metode dan konsep akuntansi untuk diungkapkan bagi pihak – pihak yang berkepentingan, kemudian dari informasi yang dihasilkan pengguna informasi akan dapat menentukan kebijakan selanjutnya untuk aktifitas sosial dan kebijakan untuk lingkungan sosial entitas bisnis yang dijalankan.
Kemudian jika permasalahan akuntansi sosial ini dikaitkan dengan prinsip dasar good corporate governance(GCG) yang menjadi issu penting pengelolaan perusahaan saat sekarang ini, khususnya pada prinsip Responsibility yang berbicara tentang bagaimana entitas bisnis bertanggung jawab kepada stakeholders dan juga lingkungan, Satyo (2001) menulis bahwa prinsip dasar good corporate governance (pengelolaan yang baik), ini mengharuskan perusahaan untuk memberikan laporan bukan hanya kepada pemegang saham, calon investor, kreditur dan pemerintah semata tetapi juga kepada stakeholders lainnya, seperti masyarakat umum, konsumen, serikat pekerja dan karyawan perusahaan secara individu.
Saat ini tuntutan pengelolaan perusahaan dengan baik (Good Corporate Governance) juga telah menjadi issue global, dimana perusahaan-perusahaan multinasional yang menjalankan operasionalnya di Indoensia selalu berusaha meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, sehingga perusahaan tidak hanya mementingkan motif bisnisnya saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat. Harahap (1993) memberikan contoh bagaimana penerapan kepedulian sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia yang ditunjukkan dalam bentuk partisipasi sponsorship kegiatan keagamaan dan penyaluran beasiswa pendidikan. 

3.3. Praktik pengungkapan sosial (Social Disclosure) di Indonesia
Praktik pengungkapan sosial bagi perusahaan di Indonesia yang ingin mengungkapkan lingkungan sosialnya dapat berpedoman kepada standar yang telah dikeluarkan dan diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia, dimana secara implisit telah mengakomodasi hal tersebut . Sebagaimana tertulis pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 1 (Revisi 1998). Paragraf 9 yang berbunyi sebagai berikut:
“ Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah ( value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor – faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.
Berdasarkan PSAK diatas, perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat melaporkan kegiatan sosialnya untuk dikomunikasikan kepada pihak luar dalam bentuk laporan nilai tambah, sehingga dapat dipahami bahwa upaya untuk pelaporan tanggungjawab sosial perusahaan sudah diakomodir oleh profesi akuntan di Indonesia.
Untuk melihat lebih jauh praktik pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan di Indonesia, para peneliti akuntansi telah melakukan berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Utomo (2000); Heny dan Murtanto (2001). Hasil riset tersebut menemukan bahwa perusahaan di Indonesia mengungkapkan 3 tiga tema utama dalam pengungkapan sosialnya, yaitu ketenagakerjaan, produk dan konsumen dan tema kemasyarakatan (lihat lampiran 1).
Penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2000) tersebut juga menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial oleh perusahaan–perusahaan di Indonesia relatif masih sangat rendah, dan diduga perusahaan tidak memanfaatkan laporan tahunan sebagai media komunikasi antara perusahaan dan Stakeholders lainnya. Sementara penelitian Heny dan Murtanto (2001) menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan sosial di Indonesia masih relatif rendah yaitu 42,32 %. Pengungkapan sosial dilakukan oleh perusahaan paling banyak ditemui pada bagian catatan atas laporan keuangan dan tipe pengungkapan yang paling banyak digunakan adalah tipe naratif kualitatif.

4. PERMASALAHAN
Berdasarkan penjabaran dan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, menunjukkan bahwa dunia usaha di Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang timbul memang bukan mutlak disebabkan oleh tidak responsifnya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap lingkungan sosial, tetapi turut dipengaruhi faktor-faktor makro lainnya. Namun demikian beberapa kasus yang diuraikan pada Tabel 1 membuktikan bahwa dunia bisnis di Indoensia sangat rentan dengan konflik sosial, dan ini tidak terlepas dari perubahan lingkungan sosial seperti peta politik dan era reformasi. Permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh perusahaan di Indonesia juga terjadi karena lemahnya penegakan peraturan tentang tanggungjawab sosial perusahaan, misalnya tentang aturan ketenagakerjaan, pencemaran lingkungan, perimbangan bagi hasil suatu industri dalam era otonomi daerah.
Perlunya informasi lengkap untuk mengetahui masalah sosial yang berkenaan langsung dengan lingkungan sosial suatu entitas bisnis dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk mendeteksi secara langsung stabilitas lingkungan sosial dan hubungannya dengan kelangsungan hidup perusahaan, dan disinilah peran akuntansi sosial mengkomunikasikan hubungan antara entitas bisnis dengan entitas sosial melalui pengungkapan sosial (sosial disclosure) perusahaan secara periodik, sehingga dapat menjembatani dan meminimalisir permasalahan-permasalahan sosial yang muncul pada dunia usaha (entitas bisnis) di Indonesia.
Penerapan pengungkapan sosial di Indonesia masih sangat rendah dibuktikan oleh hasil penelitian Muslim Utomo (2000); Heny dan Murtanto (2001) yang mengindikasikan pula bahwa praktik akuntansi sosial di Indonesia masih sangat rendah, sehingga kesimpulan analisis Bambang Sudibyo (1988) dalam Arief Suadi (1988) yang menyatakan bahwa kesadaran akan pertanggungjawaban sosial perusahaan di Indonesia sangat rendah sampai saat ini secara umum masih dapat diterima dengan melihat bukti-bukti empiris penerapan akuntansi sosial bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Rekomendasi Harahap (1993) tentang perlunya pengembangan akuntansi sosial di Indonesia dinilai masih relevan untuk dapat menciptakan suatu kondisi stabilitas sosial dari lingkungan sosial suatu entitas bisnis, sehingga diperlukan kepedulian dan kepekaan suatu entitas bisnis terhadap permasalahan sosial yang turut mendukung terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan di Indonesia.
Dengan demikian makalah ini merekomendasikan pengungkapan sosial pada laporan tahunan perusahaan hendaknya bukanlah merupakan pengungkaapan secara sukarela (Voluntary disclosure), tetapi dapat dipikirkan untuk menjadi suatu keharusan (Mandatory disclosure). Disinilah peran organisasi dan profesi akuntan dituntut untuk merespon perkembangan lingkungan dunia bisnis di Indonesia yang senantiasa berubah dengan sangat cepat.
Selanjutnya implementasi dari pengungkapan sosial bagi setiap entitas pelaku bisnis di Indonesia diharapkan mampu menciptakan informasi yang bermanfaat, sehingga entitas bisnis tidak rentan terhadap masalah–masalah diluar perekonomian (misalnya masalah sosial dan politik). 

5. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tentang akuntansi sosial dan penerapannya di Indonesia diuraikan sebagai berikut :
1. Akuntansi Sosial masih menjadi pro dan kontra di dunia akuntansi sampai saat ini mengingat masih terdapatnya pro dan kontra tentang sejauh mana perusahaan harus bertanggung jawab kepada lingkungan sosialnya
2. Akuntansi Sosial didefinisikanoleh para pakar akuntansi sebagai proses untuk mengukur,mengatur dan melaporkan dampak interaksi antra perusahaan dengan lingkungan sosialnya
3. Untuk mengukur manfaat social (social Benefit) maupun pengorbanan social (Social Cost) dapat dipergunakan cara penilaian pengganti, teknik survey dan keputusan dari pengadilan, dan beberapa teknik lainnya yang direkomendasikan oleh para ahli dan bukti-bukti empiris praktik akuntansi sosial di Amerika.
4. Pelaporan dan pengungkapan sosial di beberapa negara maju sudah lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendeskripsikan kepedulian sosialnya kepada para pemakai laporan keuangan
5. Penerapan akuntansi sosial di negara Indonesia masih mengalami kendala-beberapa kendala, diantaranya kesadaran dunia bisnis yang masih rendah dan kurangnya penegakan aturan tentang tanggungjawab sosial perusahaan di Indonesia.
6. Praktik pengungkapan sosial perusahan-perusahaan di Indonesia juga masih sangat rendah karena diduga perusahaan masih berorientasi kepada para Shareholder dan debtholders saja.
7. Peran dan penerapan akuntansi sosial perlu dikembangkan di Indonesia untuk dapat mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan yang diharapkan mampu meminimalisir permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh entitas bisnis di Indonesia, sehingga terjadinya iklim investasi yang sehat dan stabilitas ekonomi yang tangguh.

Daftar Referensi
Achmad Sonhadji, 1989 Akuntansi Sosial : Perananya dalam mengukur tanggung jawab social perusahaan, suatu tinjauan analitis, majalah akuntansi, no. 10 bulan Oktober
Adam, Carol, A, et.al .1997. Coorporate Sosial Reporting Practices in Western Europe :Legitimating Corporate behavior, Working Paper, Departement of Accounting and Finance, University of Glasglow, England.
Adrew, BH. FA. Gaul, et.al, 1989. A Note of Corporate Sosial Disclosure Practise in Developing Cotries : The Cases of Malaysia and Singapore, British Accounting Review, Vol.21 pp. 371-376
Arief Suadi, et.al, 1988. Akuntansi Sosial : Implikasi dan Kemungkinan Pengembangan di Indonesia, majalah akuntansi, no. 11 bulan Nopember.
Azhar Maksum, 1991. Pengaruh Kebudayaan atas beberapa aspek akuntansi, majalah akuntansi, no. 4 bulan April
Davidson,1993. Environmental Financial disclosure : What to say and where to say it, Chemical Week, December edition, published by UMI database Journal, USA
Hackston, David and Markus J Milne,1996. Some Determinant of Sosial and Enviromental Disclosures in New Zealand Companies, Accounting, Auditing ad Accountability Journal, Vol.9. No 1 pp.77-108
Harahap Sofyan Safri, 1988, Sosio Economic Accounting (SEA) : Menyoroti etika dan tanggung jawab social perusahaan, Majalah Akuntansi No. 3 bulan Maret
__________________, 1993, Teori Akuntansi, edisi satu, cetakan ke dua, Penerbit Rajawali Press, Jakarta.
__________________, 2001, Menuju perumusan Teori Akuntansi Islam, cetakan ke pertama, November 2001, Penerbit Pustaka Quantum,Jakarta.
Hendriksen Eldon.S,1994, Accounting Theory, Third Edition, Mc.Hill, USA.
Henny dan Murtanto, 2001, Analisis pengungkapan social pada Laporan Tahunan, Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Universitas Trisakti, Jakarta.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), 1999. Standar Akuntansi Keuangan, buku satu, Salemba empat diterbitkan untuk IAI , Jakarta.
Ince, Davult. 1997. Determinant of Sosial and environmental Discolusre of UK Company, paper , Interdiciplinary Perspective o Accounting Conference, Manchester, England
Rizal Ramli, 1999, Masa Depan Ekonomi Indonesia, makalah, disampaikan Pada seminar nasional sehari Pemulihan Ekonomi Indonesia, ISEI cabang Medan ,13 Pebruari 1999, di Medan
Satyo, 2001, Pengungkapan Sosial dalam Laporan tahunan, artikel,Media Akuntansi,edisi 17/April Mei,2001,Penerbit PT.Intama Artha Indonusa, Jakarta
Sawardjono,1991, Pencantuman Kegiatan Eksternal ke dalam Laporan Keuangan, Akuntansi, No 4 April
Tsang, Eric, WK. 1998. A Longitudinal Study of Corporate Sosial Reporting in Singapore : The Cases of Banking, Food and Beverages and Hotel Industries, Accounting, Auditing and Accountability journal, Vol.11 No 5,pp. 624-635.
Muslim Utomo, 2000, Praktik pengungkapan sosial pada laporan tahunan perusahaan di Indonesia,Lapora penelitian, Simposium Nasional Akuntansi III, IAI Kompertemen Akuntan Pendidik , Jakarta.
LAMPIRAN. 1
PENGUNGKAPAN SOSIAL TEMA MASYARAKAT
No
Item pengungkapan aspek sosial
01
Dukungan pada kegiatan sosial budaya (pameran,pagelaran seni,dsb)
02
Dukungan pada kegiatan olahraga ( termasuk sponsorship)
03
Dukungan pada dunia anak (pendidikan)
04
Partisipasi pada kegiatan sekitar kantor atau pabrik (perayaaan Hari besar)
05
Dukungan ke Lembaga kerohanian (Dewa Masjid, Bazis,dsb)
06
Dukungan ke lembaga pendidikan ( termasuk beasiswa, kesempatan magang dan kesempatan penelitian )
07
Dukungan ke lembaga sosial lainnya
08
Fasilitas sosial dan fasilitas umum
09
Prioritas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar ( termasuk pemberian fasilitas dan motivasi oleh perusahaan untuk berwirausaha bagi masyarakat sekitar industri)
Sumber : Muslim Utomo, 2000
PENGUNGKAPAN SOSIAL TEMA KONSUMEN
No
Item pengungkapan aspek Sosial
01
Mutu, kualitas produk
02
Penghargaan kualitas ( termasuk sertifikasi kualitas, sertifikasi halal , penghargaan , dsb )
03
Costumer Satisfaction ( upaya – upaya untuk meningkatkan kepuasan konsumen )
04
Masalah komputer ( MKT ) 2000 / Y2K
06
Iklan yang terlalu mengekploitasi konsumen
07
Spesifikasi produk, umur produk, aspek masa berlaku dsb
Sumber : Muslim Utomo, 2000
PENGUNGKAPAN SOSIAL TEMA TENAGA KERJA
No
Item pengungkapan aspek Sosial
01
Jumlah tenaga kerja
02
Keselamatan kerja ( kebijakan dan fasilitas keselamatan kerja )
03
Kesehatan ( termasuk fasilitas dokter dan poliklinik perusahaan )
04
Koperasi karyawan
05
Gaji / upah
06
Tunjangan dan kesejahteraan lain ( termasuk UMR , bantuan masa krisis untuk keluarga karyawan, asuransi dan fasilitas transportasi )
07
Pendidikan dan latihan ( termasuk kerjasama dengan perguruan tinggi )
08
Kesetaraan gender dalam kesempatan kerja dan karir
09
Fasilitas peribadatan ( termasuk fasilitas peribadatan dan peringatan hari besar agama)
10
Cuti karyawan (termasuk cuti yang diperlukan oleh pekerja wanita )
11
Pensiun ( termasuk pembentukan atau pemilihan yayasan dana pensiun )
13
Kesepakatan Kerja Bersama ( KKB ) dan Serikat Pekerja
14
Turnover pekerja ( termasuk pengurangan kerja dan rekrutmen )