Dewasa ini pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan moralitas bangsa, hal ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Begitu pula transparansi yang tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan, seringkali persoalan-persoalan yang kecil di besar-besarkan sehingga secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabilitas bangsa. kepercayaan inilah yang mulai pudar dari ruh manusia itu sendiri. Terlepas dari itu semua auditor yang merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan (Principal-Agent) mulai merasakan dampaknya sehingga mempengaruhi reputasi auditor sebagai pemeriksa dan pelapor. Hal tersebut dikarenakan semakin kurangnya kepercayaan dari masyarakat ataupun klien yang membutuhkan jasa auditor sebagai orang yang berdiri di atas independensi dengan mengedepankan netralitas dan objektivitas. Oleh karenanya, perhatian lebih harus ditujukan kepada “kemana seharusnya arah gerakan auditor”?,
Sampai sejauh ini, belum ada regulasi atau rules yang mengatur bagaimana seharusnya auditor bertindak sesuai hati nuraninya terkecuali kode etik auditor yang tentunya mungkin sering diabaikan. Sehingga perlu adanya pencitraan dengan menggunakan pendekatan sufistik misalnya dalam hal mengembalikan ruh auditor itu sendiri. Lebih jauh lagi saya melihat auditor di anggap sebagai orang yang mengetahui seluk beluk perusahaan terutama bagaimana penyajian laporan keuangannya sudah sesuai standarkah atau tidak yang merupakan domain dari auditor, sehingga auditor dianggap orang yang paling tahu mengenai sesuatu baik bersifat keuangan maupun non-kuangan. Inilah yang seringkali menimbulkan ketakutan oleh sebagian perusahaan yang menggunakan jasa audit, dimana atas dasar independensi dari auditor itu sendiri para pemangku pimpinan seringkali mencoba melakukan pendekatan dan mengotori citra auditor agar laporan keuangannya nampak wajar dan baik. Padahal, auditor merupakan mitra perusahaan yang mencoba membantu perusahaan dari keterpurukan dan manipulasi data keuangan yang merugikan perusahaan.
Sulit sekali menebak sebenarnya apa yang diperbuat auditor, apakah sudah sesuai kode etik atau tidak? Inilah yang mungkin menjadi gejala dimana seharusnya auditor memposisikan dirinya dalam hal menghidupkan kembali rasa tanggungjawab (Revival Responsibility) auditor itu sendiri. sehingga kadangkala perusahaan harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk menyewa jasa auditor yang kredibilitasnya lebih baik.
Mengapa banyak orang baik bertindak buruk?
Mungkin ini merupakan pertanyaan mendasar atas fenomena yang terjadi pada sebahagian orang. Pertanyaan ini bukan hanya tertuju pada satu bidang atau profesi tertentu melainkan hampir semua dimensi dari profesi manusia menjadikan ini sebagai sebuah momok yang menakutkan sehingga nilai kepercayaan mulai terjadi pergeseran. Mungkin jawaban dari pertanyaan diatas adalah karena hampir seluruh tindakan manusia berdasarkan subjektifitas sehingga lebih mengedepankan materialistis dan unsur egoisme. Dalam kaitannya dengan lingkungan auditor itu sendiri, terdapat pemahaman dan persepsi yang berbeda-beda mengenai tupoksi auditor, ada yang mengatakan bahwa kinerja auditor sudah tidak sesuai lagi dengan independensi, profesionalitas dan reputasinya. namun, ada pula yang mengatakan bahwa auditor itu independen. Untuk itu, siapa yang patut disalahkan dalam hal ini apakah masyarakat, pemerintah, perusahaan atau auditor itu sendiri? Secara pribadi mungkin saya bisa mengatakan bahwa tidak ada yang patut disalahkan karena ini merupakan tanggungjawab kita bersama sebagai bagian integral dari proses perbaikan kearah yang lebih baik. Disamping itu, regulasi, rules bahkan kode etik dan standarisasinya tentu sudah sesuai dengan porsinya. Hanya saja manusia kadangkala lalai atau mengabaikan peraturan tersebut sehingga berdampak pada pencitraan manusia itu sendiri.
Mungkin harus ada siraman rohani dengan pendekatan sufistik, sehingga paling tidak mengurangi kesenjangan dalam lingkungan audit. Sudah banyak Penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah mencoba membahas ruh auditor tersebut sebagai pelempar isu e.g.(Behind the Audit Report : A Descriptive Study of Discussions and Negotiations between Auditor and Director, Vivien Beattie, Fearnley Stella dan Richard Brandt & Auditos As Whistleblowers, Peter B. Jubb) menandakan betapa pentingnya auditor dalam keberlangsungan perusahaan disamping permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Dalam jurnal audit mengatakan bahwa auditor adalah pelapor (whistleblower). Peter B Jubb, dimana auditor menempatkan fungsi independensinya. Namun, pada saat yang bersamaan auditor seringkali dianggap musuh masyarakat yang acap kali menggunakan profesinya untuk mengungkapkan laporan keuangan (financial statement) agar nampak wajar khususnya bagi para pemegang saham yang akan mengivestasikan uang mereka diperusahaan dimana auditor itu bekerja. Tentunya ini menjadi dilematis diantara pilihan dimana auditor harus betul-betul independen dengan reputasi dan profesionalitasnya dalam menilai kewajaran atas laporan keuangan. Namun di sisi lain auditor memiliki kepentingan sehingga laporan keuangan perusahaan tertentu menjadi nampak wajar dan baik.
Ini tentunya menjadi anomali dalam lingkungan auditor khususnya lebih pada keberadaan isu-isu yang tentunya merugikan reputasi auditor sehingga berdampak pada menepisnya kepercayaan atau munculnya ketidakpuasan masyarakat atau klien atas kinerja auditor. Nampaknya budaya ini sudah menjamur dalam ruh auditor seperti yang terjadi di Negara yang kita cintai ini, berapa banyak kasus-kasus keuangan yang di alami bangsa yang seringkali melibatkan jasa auditor yang pengungkapannya jauh dari apa yang kita harapkan. Di Indonesia sendiri ada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan Akuntan Publik yang tentunya adalah badan yang kompeten dalam isu-isu keuangan negara dan organisasi perusahaan. Namun, di sisi lain kenapa harus ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang seringkali menjadi pelapor dan memberantas korupsi keuangan pejabat tertentu yang merugikan negara. Ini menandakan bahwa adanya ketidak beresan dalam hal pengungkapan laporan keuangan instansi tertentu sehingga melibatkan pejabat instansi terkait. Masih segar di ingatan kita bagaimana kasus makelar pajak yang melibatkan banyak perusahaan dan kasus-kasus lainnya yang tentunya merugikan keuangan negara.
Hidup hidupilah perusahaan tapi jangan mencari hidup dalam perusahaan
Kalimat diatas mungkin sudah dapat mengakomodir kekhawatiran kita atas permasalahan yang terjadi lebih khususnya lingkungan korporasi di mana auditor menempatkan spesialisasinya. Perusahaan (corporate) seharusnya menjadi mitra auditor sehingga saling bahu membahu dalam hal keuangan maupun non keuangan. Perusahaan yang besar tentunya membutuhkan biaya yang besar disamping resiko yang akan di alami perusahaan. Tidak sedikit perusahaan yang menggunakan jasa auditor merasakan dampak positif atas kinerja laporan keuangannya sehingga munculnya kepercayaan investor dan terjadi peningkatan laba serta saham diperusahaan tersebut. Kondisi inilah yang sebenarnya kita harapkan dalam hal pengembangan integritas baik di lingkungan internal maupun lingkungan eksternal perusahaan. Janganlah terlalu mengutamakan hasil akhir sehingga orientasinya hanya terletak pada bagaimana laporan keuangan tersebut nampak baik di mata investor sehingga kadangkala kita mengesampingkan hal-hal yang bersifat principal. Oleh sebab itu, bukan hasil akhir yang harus diutamakan melainkan proses dan apa yang hendak dicapai perusahaan sehingga prinsip kehati-hatian (Prudentcial principal) lebih diutamakan dalam mengukur keberhasilan dan tingkat pencapaian suatu perusahaan.
“Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu yang merubahnya sendiri”. Sepenggal ayat qur’an ini tentunya merupakan penilaian Tuhan untuk kita agar lebih mengintrospeksi diri. Oleh karenanya, segala sesuatu haruslah dimulai dari diri (niat) kita masing-masing (Segala perbuatan berawal dari niat) artinya, tak seorangpun di dunia ini mengetahui apa yang hendak kita kerjakan, apakah itu baik atau buruk, sehingga baik buruknya perbuatan manusia imbasnya kepada pencitraan manusia itu sendiri. Kaitannya dengan itu, bahwa ruh auditor harusnya seimbang dengan apa yang di perintahkan Tuhan “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan janganlah kamu tolong menolong dalam kesesatan” dimana auditor sebagai mitra perusahaan yang menolong perusahaan dalam hal pengungkapan laporan keuangan yang benar, jujur, dan adil sesuai dengan profesi dan independensinya tanpa adanya unsur paksaan baik dari diri maupun perusahaan. Terkadang kita mengesampingkan kepentingan ukhrawi dan lebih mengutamakan kepentingan duniawi semata, padahal jelas Allah telah menghabarkan kepada seluruh umat manusia bahwa “ADDUNNIA MAJRATUL AKHIRAH” bahwa “Dunia adalah ladang untuk akherat” dimana kebaikan yang kita tanam di dunia akan kita tuai dan petik di akhirat kelak. Untuk itu, walaupun sekuat apapun regulasi maupun aturan yang dibuat oleh manusia kalau tidak dilandasi kesadaran dan keimanan yang hakiki semuanya tidak ada gunanya. Sebab, yang namanya manusia itu pasti merugi “INNAL INSANA LAFIY KHUSRI” . Ini mengisyaratkan bahwa selama perbuatan kita mengarah ke hal-hal yang merugikan diri dan orang lain maka manusia itu merugi. “Banyak orang yang merasa pintar tapi tidak pintar merasa” dimana kodrat auditor adalah manusia biasa yang sering menggunakan kredibilitasnya dan kepintarannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Inilah yang perlu di kikis habis oleh auditor untuk mengembalikan citra dan reputasi auditor di hadapan manusia dan Tuhannya, bagaimana bentuk pertanggungjawabannya bukan hanya kepada manusia “HABLUMMINANNAS” tetapi juga untuk sang khalik “HABLUMMINALLAH”.
Secara pribadi saya mencoba memberikan solusi yang tepat kemana seharusnya arah gerakan auditor, karena terlalu banyak referensi dan aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan baik yang berasal dari pemerintah, akademisi maupun analis tidak mampu memproteksi permasalahan ini yang akhirnya menjadi lubang besar dan menimbulkan kesenjangan yang lebih luas. Auditor harusnya lebih professional dan menyadari betapa pentingnya independensinya itu untuk mengangkat harkat dan martabat reputasinya. Untuk itu, kunci kesuksesannya adalah auditor harus konsisten terhadap independensinya dengan selalu mengutamakan objektivitas dan netralitasnya kearah perbaikan berkesinambungan (Continues Improvement) tanpa memandang siapa dan apa yang harus diselamatkan. Selain itu pula kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan dalam hal membangun integritas perusahaan baik itu principal-agent maupun masyarakat yang merasakan dampak dari aktivitas perusahaan sebagai sebuah tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Sudah barang tentu proses ini membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit dalam mengembalikan ruh auditor. “Jika kita ingin memancing ikan yang besar jangan menggunakan kail yang kecil, maka gunakanlah kail yang besar dan tentunya tidak sedikit biaya yang kita keluarkan untuk membeli kail yang besar dan kuat itu, namun belum tentu dengan menggunakan kail yang besar kita mendapatkan ikan yang besar”. Artinya, kita jangan terlalu berorientasi pada hasil akhir yang kenyataanya tidak selalu memuaskan, tapi bagaimana proses menuju tujuan akhir walaupun pada awalnya tidak memuaskan. Tapi, itu berlangsung hanya untuk jangka pendek saja dan ketika perbaikan tersebut berada dalam fase kedewasaan maka untuk jangka panjang kita akan merasakan hasil dari proses tersebut.
Sebenarnya permasalahan tersebut terletak pada ruh auditor itu sendiri, kemana tujuan auditor tergantung pada dirinya sendiri, sudah ada kode etik, standar, dan rules yang mengatur kemana arah gerak dan tujuan auditor. Oleh karena itu, dalam mengembalikan reputasi auditor di mata masyarakat dan kliennya, auditor harus benar-benar “telanjang”, artinya sebagai manusia auditor menyadari akan amanah yang diberikan tuhan kepadanya, sehingga auditor akan melaksanakan tugasnya dengan baik, jujur dan adil sesuai yang diperintahkan tuhan kepada hambanya, yang pada akhirnya akan memunculkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat bahwa auditor benar-benar Independen dalam melaksanakan tugasnya. Saya yakin dan percaya, lambat laun tapi pasti jika ini terwujud maka tidak akan terjadi kesenjangan sosial yang tentunya merugikan semua pihak dan pencitraan independensi, profesionalitas dan reputasi ruh auditor akan kembali sesuai apa yang kita harapkan.
Ronald Soemitro,
Pengarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar