''Tak ada yang lebih buruk daripada monster yang memangsa dirinya sendiri.'' Inilah gambaran dunia yang terperangkap Kapitalisme Barat yang dilontarkan Prof Dr Danah Zohar, dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini.
Pakar Spiritual Quotient (SQ) yang mendapat gelar sarjana bidang Fisika dan Filsafat dari Massachusetts Institute of Technology (MIT, 1966) dan Doktor di bidang Filsafat, Psikologi, dan Agama dari Harvard University Graduate Spiritual Capitalhool (1969) ini telah menghasilkan beberapa buku best-sellers, seperti The Quantum Self, The Quantum Society, Who's Afraid of Spiritual Capitalhr dinger's Cat? ReWiring the Corporate Brain. Sebelum buku terakhir, Spiritual Capital, ia merilis SQ-Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence sebuah buku yang mengubah paradigma dunia tentang konsep kecerdasan, setelah Daniel Goleman yang memperkenalkan konsep kecerdasan emosi (EQ)
Dalam banyak bahasannya, Danah Zohar mendeskripsikan tentang betapa wajah dunia yang terperangkap Kapitalisme Barat yang sedemikian menakutkannya. Dengan kata lain, the pursuit of profit for its own sake (pencarian keuntungan adalah demi keuntungan itu sendiri). Kapitalisme beranggapan bahwa bumi ada untuk menyediakan bagi manusia sumber-sumber dayanya, dan bahwa sumber-sumber ini tidak terbatas.
Prinsip Kapitalisme Kontemporer ini banyak diadopsi oleh banyak bisnis usaha di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ia didukung oleh tren intelektual seperti sains Newtonian, dikuatkan oleh teori ''survival of the fittest'' Darwinian, juga ''hukum gerak'' kapitalisme itu sendiri (hukum kompetisi, hukum maksimalisasi laba, hukum akumulasi kapital) yang telah banyak menjebak para pelaku bisnis dan ekonomi pada umumnya ke dalam sebuah perburuan keuntungan kompetitif yang kejam, yang mengabaikan nilai moral dan kemanusiaan dan membuat dunia carut marut seeprti yang kita rasakan hingga saat ini. Jelas, inilah yang dimaksud dengan ''monster yang memangsa dirinya sendiri''.
Pada kasus ini, `sang monster' sama sekali tidak menjaga upaya keberlanjutan yang seharusnya menjadi tanggungjawab setiap individu manusia. Kapitalisme semacam inilah yang telah melahirkan ketidakmerataan yang terus meningkat dalam distribusi kekayaan dunia, tidak saja di antara bangsa-bangsa di dunia dan wilayah-wilayah geografis, namun kerap ditemui dalam masyarakat yang kaya itu sendiri. Pada bangsa-bangsa semacam India, Amerika Serikat dan Brazil, kekayaan ekstrem berdampingan dengan kemiskinan yang sangat mencolok.
Kapitalisme Barat yang berasumsi bahwa manusia semata-mata adalah makhluk ekonomi yang hidup demi menghasilkan uang, telah menimbulkan `stres' dan kelelahan yang luarbiasa di pihak ''pemenang'' yang menjalankan sistem. Ia telah menumbuhsuburkan kesenjangan antara bangsa-bangsa kaya dan bangsa-bangsa miskin, mendorong orang miskin untuk bermigrasi ke wilayah-wilayah yang lebih kaya, kemudian pada akhirnya makin membengkakkan populasi imigran gelap dan kerusuhan sosial politik yang menyertainya.
Lalu apakah sebenarnya penyebab dari kebobrokan itu semua? Faktor pencetus utama permasalahan tersebut adalah ketiadaan makna yang menyertai Kapitalisme Barat. Ketakbermaknaan inilah pemicu utama penularan penyakit di dunia maju saat ini. Di antaranya depresi, keletihan, sindrom kepenatan yang kronis, alkoholisme, penyalahgunaaan obat-obatan, pornografi dan bunuh diri. Inilah yang disebut penyakit spiritual (Spiritual Pathology).
Kapitalisme ini didukung oleh Hierarki Piramida Kebutuhan Abraham Maslow. Danah memaparkan bahwa pada 1959, studi terkenal dari Frederick Herzberg tentang hal yang memotivasi orang untuk bekerja, membuktikan kekeliruan yang fundamental pada Piramida Maslow. Betapa tidak, piramida lima tingkat milik Maslow--yaitu kebutuhan lapis pertama ''Kecukupan Fisiologis'', disusul dengan jenjang-jenjang berikutnya yaitu ''Keselamatan dan Keamanan'', ''Keterlibatan dan Hubungan Sosial'', ''Harga Diri'' dan ''Aktualisasi Diri''--sesungguhnya hanya menjadikan seseorang cenderung berkutat pada tingkat pertama (pemenuhan kebutuhan fisik) yang berujung pada ketamakan belaka, dan sedikit sekali yang mampu mencapai tingkat aktualisasi diri yang mengandung pemaknaan hidup. Namun apabila piramida ini dibalik, kebutuhan utamanya menjadi kebutuhan untuk ''Aktualisasi Diri''. Jika pemenuhan akan kebutuhan aktualisasi diri telah mampu dipenuhi, maka akan dengan sendirinya kebutuhan dasar tadi tercukupi.
Inilah jawaban dari `adakah jalan lain' itu. Spiritual Capital menawarkan sebuah paradigma baru, yaitu visi bisnis yang tidak sekadar menaruh perhatian pada materi keduniawian belaka. Spiritual Capitals mencitrakan bisnis sebagai sebuah panggilan hidup, bisnis yang berorientasi pada pelayanan dan nilai. Ketika seseorang telah menyadari bahwa fondasi spirituallah yang mampu memberi energi untuk menggerakkan motivasinya menuju motivasi tertinggi---seperti apa yang dijelaskan Danah, sang penemu SQ tersebut---maka kita akan disodorkan kembali pada pertanyaan berikutnya: ''How to achieve our ultimate motivation?''.
Bagaimana mencapainya; metode apa yang kiranya tepat dan dapat digunakan; dan adakah kiranya nilai dan keyakinan agama tertentu yang mampu mengangkat universalisme manusia dalam menguatkan sekaligus menjadi piranti pembangunan menuju the ultimate motivation?
Jika Danah menjawab pertanyaan ''Why'' (''Mengapa Anda memerlukan kecerdasan spiritual?''), maka Ary Ginanjar menjawab pertanyaan berikutnya: ''How'' (''bagaimana caranya membangun dan mengembangkan kecerdasan spiritual?''). Penemu ESQ Model ini menyajikan konsep Spiritual Engineering The ESQ WAY 165 yang mampu mensinergikan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sekaligus secara komprehensif. Metode ini mengelola tiga modal dasar, yaitu modal fisik, sosial, dan spiritual. Beberapa nilai dan kaidah universalisme Islam berhasil ia buktikan mampu menjadi piranti pembangun kecerdasan spiritual.
Dan betapa terkejut Danah setelah membaca buku ESQ edisi Bahasa Inggris dan mendapatkan penjelasan. 12 Prinsip yang dijabarkan Danah seperti: Self-Awareness, ternyata sudah dijabarkan oleh Ary dengan 99 prinsip Asmaul Husna. Termasuk pula teori membalikkan Piramida Maslow yang dijawab oleh Ary Ginanjar dengan ESQ Hierarchy Needs yang dijabarkan dengan urutan Haji. Self-actualization dijawab dengan Wukuf di padang Arafah, Self-Esteem justru dijawab dengan lontar jumrah, Social Needs dibangun dengan Thawaf, Safety Needs dijawab dengan Sa'i, dan Basic Needs dilambangkan dengan Zamzam_lambang kehidupan.
Betapa terkejutnya Danah saat mengetahui bahwa teori membalikkan Piramida Abraham Maslow ini dijawab tuntas oleh ajaran Nabi Ibrahim AS. Danah pun tercenung dan berkaca-kaca, sambil berkata: ''Saya baru mengetahuinya sekarang.''
Selanjutnya, kedua Maestro di bidang kecerdasan spiritual itu bersepakat untuk berkolaburasi dalam sebuah seminar pada 9 Desember 2006. Keduanya akan memberi pencerahan kepada dunia dengan menyodorkan SQ sebagai jawaban problem moral dan sosial saat ini.
Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju London, Danah menulis sebuah email kepada ESQ Leadership Center. ''I really enjoyed meeting with him (Ary Ginanjar, red). I read a lot more of his book during my flight back to London, I'm really impressed by what a wonderful job he has done with it. Islam desperately needs a voice like Ary's, that can present a modern, open-minded, and inspiring vision of The Faith. I am learning a lot from his book.''
Saya bahagia bertemu dengan Ary. Saya banyak membaca bukunya selama perjalanan pulang ke London. Saya sungguh terkesan dengan karyanya yang menakjubkan. Islam sungguh-sungguh memerlukan sosok seperti Ary yang dapat mempresentasikan sebuah visi tentang keyakinan yang modern, terbuka, dan mampu memberi inspirasi. Saya banyak belajar dari bukunya). n anisi r handini/rurhablisyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar